Kasus anak bermain bola di jalan raya dilakukan dengan sengaja. Sedangkan anak jatuh dari sepeda bisa dipastikan tidak sengaja. Faktor sengaja dan tidak sengaja ini harus menjadi pertimbangan utama menentukan apakah suatu perbuatan patut mendapat hukuman atau tidak serta menentukan kadar hukuman. Hukuman dijatuhkan bertujuan agar si terhukum tidak me- ngulangi lagi di masa mendatang.
Hukuman hanya efektif dan produktif untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Sedangkan menghukum orang yang tidak sengaja melakukan "kesalahan" tidak efektif dan bahkan kontra produktif. Menghukum anak yang jatuh saat belajar bersepeda bisa berdampak tidak produktif yaitu anak tidak mau lagi belajar bersepeda.
Kesalahan secara tak sengaja biasa disebut error dan kesalahan yang di- sengaja disebut violation. Jika dilihat dari akibat, baik error maupun violation sama. Yang membedakan hanya intention atau niatnya. Error merupakan sesuatu yang manusiawi (to error is human) dan setiap orang pernah melakukannya. Karena itu error harus diterima secara apa adanya.
Human error tidak mungkin dihilang-kan sama sekali, tapi bisa dikelola lewat penerapan teknologi yang tepat, pelatihan berkesinambungan, dan implementasi aturan yang konsisten. Ada tiga strategi mencegah human error yakni Error Reduction, Error Capturing dan Error Tolerance.
Error Reduction adalah strategi mengurangi error dengan cara mengeliminasi faktor yang berkontribusi seperti memperbaiki alat kerja, memperbaiki sistem training, prosedur kerja, dan lain sebagainya.
Sedangkan Error Capturing adalah bertujuan "menangkap" error sebelum menimbulkan konsekuensi yang serius atau kecelakaan. Contoh strategi ini adalah dalam dunia aviasi adalah Duplicate Inspection, Required Inspection Items, Preflight Check oleh penerbang, dan lain-lain.
Adapun Error Tolerance yakni membuat sistem "kebal" terhadap error. Meskipun error terjadi, tapi tidak menimbulkan kejadian yang serius. Strategi ini biasa disebut juga fail safe design system. Jika satu sistem gagal, maka sistem lain mengambil alih. Apabila sistem hidraulik penggerak flight control gagal misalnya, maka elektrikal sistem mengambil alih sehingga tidak menimbulkan akibat yang fatal.
Penerapan Error Tolerance bisa dilihat pada control of critical task, pelaksanaan status task (tugas) tertentu pada kedua buah mesin tidak boleh dikerjakan oleh satu orang teknisi. Tujuannya jika terjadi kegagalan mesin akibat human error, tidak terjadi pada kedua mesin sekaligus.
Sekarang mari kita meninjau kesalahan yang disengaja: violation. Violation dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yakni Routine Violation, Situational Violation dan Exceptional Violation.
Routine Violation merupakan pelanggaran yang bersifat rutin atau sudah menjadi norma umum dalam suatu kelompok sosial. Contoh suatu kelompok menilai tidak perlu mentaati aturan tentang penggunaan helm saat mengendarai sepeda motor. Semua anggota grup menilai tak perlu meng- ikuti aturan memakai helm. Jika ada yang mengikuti justru dianggap aneh.
Sedangkan Situational Violation yakni terjadinya pelanggaran sangat tergantung pada situasi tertentu seperti sedang dikejar tenggat, alatnya tidak tersedia, tidak ada pengawasan, dan lain-lain. Dengan contoh kasus helm di atas, helm hanya dipakai jika ada petugas. Taat hanya jika ada yang melihat.
Adapun Exceptional Violation atau pelanggaran murni. Dalam situasi apapun seseorang akan melakukan pelanggaran. Violation jenis ini relatif jarang dibandingkan kedua jenis violation yang lain.
Seringkali kita sulit membedakan antara error dan violation. Apalagi jika kita hanya fokus pada hasil dari perbuatan saja. Hukuman yang dijatuhkan dengan pertimbangan hasil semata, bisa jadi kontra produktif. Agar hukuman efektif dan produktif perlu dibangun budaya adil atau just culture di suatu perusahaan.
Untuk membangun budaya adil sekurangnya harus didukung tiga kebijakan utama. Pertama, kebijakan tentang pelaporan yang bebas dan jujur (free and frank reporting system) yang harus dibangun dengan komitmen kuat seluruh pimpinan organisasi. Sistem ini harus non punitive yakni seseorang tidak dihukum karena membuat laporan, termasuk laporan yang melibatkan dirinya. Pada situasi dan kondisi tertentu dia bahkan patut mendapat apresiasi.
Kedua, kebijakan tentang batasan perilaku yang bisa diterima dan tidak bisa diterima. Batas antara hal yang harus dilakukan (do) dan yang tidak boleh dilakukan (don't) harus jelas. Daftar ''halal-haram '' ini bertujuan menghancurkan norma 'sesat ' yang mengurat akar dalam kelompok kerja.
Ketiga, kebijakan tentang penerapan disiplin atau Disciplinary Policy yakni peraturan atau kebijakan tentang kadar atau tingkat hukuman. Dalam menjatuhkan hukuman harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk sengaja atau tidaknya suatu perbuatan.
Hampir semua organisasi yang menerapkan Safety Management System (SMS) dengan baik, memba- ngun Disciplinary Policy mengacu pada Culpability Chart-nya Prof. James Reason dari University of Manchester United Kingdom. Beberapa organisasi melakukan sedikit modifikasi dan penyederhanaan.
Culpability Chart atau diagram kesalahan ini memetakan 9 tingkat kesalahan. Beberapa perusahaan menyederhanakan menjadi 7 tingkat kesalahan. Pemeringkatan itu didasari beberapa pertimbangan seperti se- ngaja tidaknya perbuatan, tahu atau tidaknya konsekuensi, ada atau tidaknya prosedur, efektif tidaknya proses seleksi, rekruitmen dan training, serta beberapa pertimbangan lain.
Tingkat tertinggi adalah jika sese- orang sengaja melakukan pelanggaran dan dia tahu akibatnya. Ini jelas perilaku kriminal murni seperti mencuri komponen pesawat secara sengaja. Untuk pelanggaran tingkat satu ini harus diganjar hukuman yang sangat berat dan menjadi urusan penegak hukum.
Sedangkan tingkat terendah adalah seseorang melakukan kesalahan yang tidak sengaja, honest error, dan lolos uji subtitusi. Uji subtitusi adalah mensubtitusikan teruji kepada orang lain dengan tingkat kompetensi yang sama dan menghadapi situasi serupa. Apakah orang itu melakukan kesalahan serupa dengan yang dilakukan oleh teruji? Jika jawabannya ya, maka kesalahan teruji diputuskan pada tingkat terendah atau tidak dihukum sama sekali.
Dengan budaya adil, setiap individu dalam berbagai lini dan posisi dalam organisasi ikut terlibat dalam proses tanpa takut, saling curiga, dan berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik. Dengan budaya adil, iklim kerja menjadi lebih kondusif, pada gilirannya tentu akan lebih meningkatkan produktifitas kerja. Fuad Abdullah, VP Quality Assurance and Safety (GMF Aero Asia)
Sumber : http://tabloidaviasi.co
0 komentar:
Posting Komentar