Pembelian pesawat kepresidenan Indonesia telah disepakati oleh para legislatif maupun eksekutif negara ini. Tapi disayangkan, pilihan mereka tetap Boeing Business Jet 2 (BBJ2) produksi Boeing Company yang bermarkas di Chicago, Amerika. Padahal, Indonesia memiliki PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang diyakini bisa memproduksi pesawat sejenis. Langkah itu dinilai bukti omong kosong pemerintah dalam kampanye 'Mencitai Produk Dalam Negeri'.
"Kita kalah dengan China, Perdana Menteri-nya saja mau pakai pesawat buatan anak negeri, ini yang membuat rakyat percaya dan mau memilih pesawat buatan sendiri, karena mereka menilai pemimpinya saja percaya menggunakan pesawat buatan sendiri, kenapa mereka (pengusaha dan rakyat) tidak, itu yang tidak disadari presiden kita," ujar , pengamat industri penerbangan, Dudi Sudibyo, Kamis (9/6).
Kondisi ini ironis, karena rute-rute dalam negeri pun selama ini Presiden lebih memilih menggunakan maskapai Garuda yang pesawatnya juga buatan Boeing. "Padahal bisa pakai pesawat jet kecil seperti 373 atau MP25 buatan PT DI, tapi kenapa tidak pernah di gunakan presiden. Bagaimana industri ini mau berkembang, bagaimana para pengusaha besar dalam negeri mau beli pesawat buatan negeri sendiri kalau presidennya tidak mau naik pesawat buatan rakyatnya," imbuhnya.
Mengenai keputusan membeli BBJ2 737-800 harus dilihat apakah kegunaannya sangat besar dan mendesak sekali. Apakah sudah dipikirkan biaya yang akan dikeluarkan dibandingkan mencarter pesawat.
"Walaupun harga pesawat BBJ2 737-800 tersebut terbilang murah 58 juta dollar atau sekitar Rp 522 miliar, namun harus dilihat dulu, apakah dengan membeli pesawat tersebut biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dibangingkan jika kita menyewa atau carter peswat," katanya, ketika dihubungi, Kamis (9/6).
Dikatakan Dudi, memang dengan menyewa atau carter peswat selama 5 tahun, uang sewanya bisa membeli satu unit pesawat kepresidenan. Namun dengan membeli peswat sendiri negara juga harus menanggung biaya operasional dna perawatan lebih tinggi. "Saya rasa tidak, pasalnya biaya yang dikeluarkan juga sangat besar. Karena harus membayar berbagai fee, pilot, pegawai, dan yang paling besar adalah perawatan, siapa yang menanggungnya? Pasti negara. jadi kalau dari segi biaya, saya menilai jauh lebih hemat kalau kita menyewa saja," ujarnya.
Namun, kalau dipandang dari segi prestige, maka lain cerita."Kita zamannya Presiden Soekarno sudah punya pesawat kepresidenan, bahkan kita punya khusus helikopter kepresidenan dimana pada waktu itu Amrerika sendiri belum mempunyainya. Tentu kalau berkaca dari ini, seharusnya kita sudah punya sendiri peswat kepresidenan, namun kalau dari segi biaya yang dikeluarkan jauh lebih hemat kalau kita menyewa saja," ujarnya lagi.
Ditambahkan Dudi, dari pada menimbulkan pro dan kontra pada rakyat, kenapa pemerintah tidak menyewa saja ke PT Garuda Indonesia Tbk. Pasalnya selain termasuk BUMN, uang sewa pemerintah berputar di perusahaan milik negara sendiri.
"Dan saya kira, Garuda akan siap menyediakan pesawat khusus kepresidenan yang rute penerbangannya tidak padat, dan kalau sewaktu-waktu diperlukan bisa langsung digunakan oleh presiden. Cara ini menurut saja lebih baik dari pada harus membeli pesawat khsusus kepresidenanan," ujarnya.
Kesederhanaan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong perlu dicontoh. Dia memilih menumpang pesawat komersil ketimbang memiliki pesawat kepresidenan saat bertugas ke luar negeri. "Sebagai seorang pejabat pemerintah, saya harus memberi teladan. Saat terbang ke luar negeri, dengan waktu tempuh kurang dari enam jam, para pejabat senior Singapura hanya duduk di kursi Kelas Ekonomi, bukan Kelas Satu," kata Lee dikutip The Straits Times.
Sekadar diketahui, dalam raker dengan Komisi II di Gedung DPR, Senayan, Rabu (8/6) Mensesneg Sudi Silalahi mengatakan pemerintah telah mencapai deal harga dengan perusahaan Boeing. Sekitar dua tahun lagi, pesawat yang akan menjadi tumpangan resmi Presiden RI itu akan tiba di tanah air. "Pengerjaannya semua selesai ditargetkan pada 2013," katanya.
DPR dan pemerintah memang telah bersepakat mengenai pembelian pesawat bertipe 737-800 BBJ2 itu sejak awal 2010 lalu. Saat itu, sempat muncul perkiraan harga pesawat sebesar 85,4 juta dollar atau Rp 854 miliar.Namun, dalam prosesnya harga itu rupanya bisa ditekan menjadi 62 juta dollar (Rp 558 miliar). Bahkan, ungkap Sudi, setelah dinego pemerintah kembali mendapat discount, sehingga harganya menjadi 58 juta dollar (Rp 522 miliar). "Meskipun dulu sudah disetujui anggarannya, kami berhasil nego lagi dan tekan sampai 4 juta dollar (Rp 36 miliar)," katanya.
Pesawat BBJ2 memiliki kapasitas angkut pada kisaran 70 penumpang, mampu terbang tanpa berhenti selama 10 jam dan bisa mendarat di bandara kecil. "Pesawat juga harus memiliki peralatan navigasi, komunikasi dan kelengkapan penerbangan lainnya yang dipersyaratkan bagi sebuah pesawat kepresidenan." ucap dia.
(Surabaya Post)
0 komentar:
Posting Komentar