Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau IATA memperkirakan laba industri penerbangan dunia anjlok hingga 78 persen dibandingkan tahun lalu. Tahun 2011 diyakini akan kembali menjadi tahun tersulit seiring meroketnya harga minyak dunia, pajak-pajak penerbangan, dan banyaknya bencana alam
Hal itu terungkap dalam Pertemuan Tahunan (Annual General Meeting) IATA yang dilangsungkan di Singapura, Senin (6/6/2011) hingga Selasa (7/6/2011). Acara ini diikuti sekitar 200 chief executive officer (CEO) atau pimpinan maskapai dan pelaku industri penerbangan dunia. Anggota IATA melayani 93 persen dari total jadwal penerbangan internasional saat ini.
Direktur Jendral IATA Giovanni Bisignani dalam pidatonya mengungkapkan, laba bersih dari industri penerbangan tahun ini diperkirakan hanya senilai 4 miliar dollar AS. Angka ini jauh lebih rendah dari perkiraan IATA sebelumnya, yaitu 8,6 miliar dollar AS, yang dirilis Maret 2011.
Jika dibandingkan dengan hasil keuntungan total pada 2010, yaitu 18 miliar dollar AS, perkiraan keuntungan bersih pada 2011 ini anjlok hingga 78 persen. Bahkan, selisih keuntungan (margin) sangat tipis, yaitu 0,7 persen dari estimasi pendapatan sebesar 598 miliar dollar AS pada 2011. Tahun 2010 margin keuntungan jauh lebih baik, yaitu 3,2 persen.
Pada 2010 industri penerbangan menjalani tahun terbaik selama satu dekade terakhir. Namun, pada 2011 banyak terjadi kejutan. Mulai dari bencana (gempa dan tsunami) di Jepang, krisis politik di Timur Tengah, hingga kenaikan harga minyak hingga di atas 120 dollar AS per barrel. "Maskapai penerbangan menghabiskan waktunya kini dalam mode bertahan hidup," ujar Giovanni.
Harga rata-rata minyak mentah pada 2011 hingga 110 dollar AS per barrel ini jauh melampaui perkiraan IATA sebelumnya, yaitu 96 dollar AS. Padahal, setiap dollar kenaikan harga minyak mengakibatkan tambahan biaya operasional sebesar 1,6 miliar dollar AS pada seluruh airline.
Komponen harga bahan bakar kini diperkirakan mencapai 30 persen dari total biaya operasional penerbangan. Atau, naik dua kali lipat dari kondisi pada 2001, yaitu ketika bahan bakar hanya menyumbang 13 persen dari total komponen biaya operasi.
Dalam jumpa pers, ia menambahkan, bencana tsunami Jepang juga berdampak besar pada estimasi penurunan laba. Selama ini Jepang menyumbang hampir 60 miliar dollar AS pendapatan maskapai penerbangan di seluruh dunia setiap tahunnya. Kondisi ini juga diperburuk masih terjadinya bencana letusan gunung berapi di sejumlah negara.
Penerbangan murah
Dengan kondisi ini, industri penerbangan dituntut untuk kembali melakukan efisiensi dan inovasi. IATA memperkirakan akan semakin banyak maskapai penerbangan yang menerapkan pola penerbangan berbiaya murah (low cost). Manuver ini kini ikut diterapkan salah satunya oleh Singapura Airlines (SIA).
Menurut CEO Singapura Airlines Goh Choon Phong, pola low cost ini akan mulai diterapkan pihaknya untuk penerbangan rute menengah dan panjang mulai tahun depan. "Manajemennya, secara prinsip, akan dilakukan terpisah (dengan SIA)," ujar Presiden Pertemuan Tahunan IATA 2011 ini.
Garuda dan perdagangan karbon
Dalam pertemuan ini, para CEO airline juga membahas isu lain yang sangat krusial, yaitu penerapan Skema Perdagangan Emisi Karbon oleh Uni Eropa (EU ETS) ke industri penerbangan mulai Januari 2012. Implementasi aturan ini dikhawatirkan akan meningkatkan biaya pajak, terutama bahan bakar, bagi maskapai yang armadanya singgah di negara anggota Uni Eropa.
Dalam forum ini, Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar yang juga anggota Board of Governors of IATA mengatakan, penerapan EU ETS akan menciptakan tambahan beban biaya operasi ke maskapai penerbangan. "Itu (EU ETS) kurang baik untuk kita (airlines), termasuk Garuda yang punya satu rute penerbangan ke Amsterdam. Tetapi, kita tetap harus menghadapinya," ujar Emirsyah di hadapan para CEO airline anggota IATA.
(Kompas.com)
ShareBagikan
0 komentar:
Posting Komentar