Sebagai penumpang kita tidak pernah melakukan pilkada atau pemilu untuk menetapkan siapa yang jadi pilot kita, bahkan lihat wajahnya pun belum pernah. Tetapi sudah bisa dipastikan, pilot itu adalah orang yang ahli mengerjakan tugasnya, mengantarkan para penumpang dengan selamat tiba di tujuan.
Kita juga tidak pernah melihat segerombolan pilot melakukan kampanye sambil menggelar dangdut di lapangan terbang, dengan niat agar para penumpang memilih diri mereka, dengan alasan biar demokratis.
Kita juga tidak pernah menyaksikan bandara dipenuhi spanduk dan poster bergambar wajah calon para pilot, seperti umumnya kalau kita mau menetapkan siapa yang jadi pejabat di negara ini.
Pernahkah Anda dapat pembagian kaos, mug, kalender, dan berbagai asesoris bergambar calon pilot pesawat yang mau anda tumpangi? Pasti belum pernah, kan? Ya, dan memang tidak akan pernah ada kejadian seperti itu.
Dan kita tidak pernah tahu ada acara debat para calon pilot yang isinya cuma saling menjatuhkan dan saling mencela antara satu calon pilot dengan pilot lainnya, tentang mau bagaimana penerbangan yang akan ditempuh.
Kenapa semua itu tidak ada?
Jawabnya karena seorang pilot yang handal memang tidak akan pernah lahir dari hasil pemilihan, baik pemilu atau pilkada. Pilot yang dibutuhkan dalam sebuah penerbangan hanya bisa didapat lewat pendidikan berkualitas dan tentunya amat berat dan waktunya lama. Hanya siswa yang dinyatakan lulus saja yang boleh akhirnya jadi pilot.
Herannya, kalau sekedar untuk membawa terbang 400-an penumpang saja dibutuhkan keahlian pilot sampai segitunya, kok untuk memimpin sebuah negara dengan penduduk 230 juta, tidak ada syarat pendidikan apa-apa? Segitu gampangkah mengatur negara sehingga siapa saja dianggap berhak mencalonkan diri, demi sepenggal kata : hak asasi?
Dan konyolnya, kok bisa sampai ada keyakinan bahwa seorang pemimpin akan didapat lewat pemiliu atau pilkada? Saya teramat heran dan tidak habis pikir.
Tanpa pemilu atau pilkada (atau mungkin lebih enak kita sebut pilpilot kepanjangan dari pemilihan pilot), kita mendapatkan para pilot yang handal dan bekerja optimal. Mereka ahli di bidang nyopir pesawat, tanpa harus berkampanye serahkan pada ahlinya. (sory bang Foke). Dan ternyata mereka memang ahlinya dalam arti sesungguhnya.
Bahwa si pilot itu ahli nyopir pesawat, memang bukan sekedar janji kampanye, tetapi mereka sebelumnya wajib sekolah pilot, ikut berbagai macam ujian dan uji kelayakan. Kalau bisa lulus dari semua itu, barulah boleh jadi pilot. Itu pun harus punya SIM (surat izin menerbangkan pesawat?), dan kalau belum tentu tidak boleh terbang alias tidak boleh jadi pilot.
Coba bandingkan dengan pilot pemerintah baik pusat atau daerah. Dengan alasan demokrasi, `pilot` propinsi, kota madya atau kabupaten dan lainnya tidak diharuskan sekolah dulu. Dan memang tidak ada sekolahannya, setidaknya tidak disyaratkan untuk lulus dari sekolah tertentu untuk bisa nangkring di jabatan itu.
Yang penting, dia berhasil mendapatkan suara pemilih, bagaimana pun caranya, termasuk kasak kusuk busuk.
Jadi jelas banget perbedaan hasil kepemimpinan pilot dengan pejabat. Yang satu pakai sekolah dan ujian dulu, lama dan berat, sedangkan jadi pejabat mudah sekali, asalkan ada partai atau setidaknya `koneksi` dan `loby` yang mendukung, atau punya bargaining (posisi tawar) yang kuat, dan tentu saja harus ada uang buat belanja (bukan lagi beli) suara, jalannya bisa mulus untuk jadi pejabat.
Sebelum terbang, kita memang bisa dengar si pilot ngomong ; This is your capten bla bla bla, dan itu adalah informasi tentang siapa nama di pilot, lalu kita mau kemana, berapa lama penerbangan, transit dimana, terbang dengan ketinggian berapa, cuaca nanti seperti apa, perkiraan mendarat jam berapa, perbedaan waktu antara tempat tujuan dan tempat asal dsb dsb.
Nah kalau `pilot` pemerintahan, tidak pernah memberi informasi apa-apa, kecuali janji-janji doang. Nanti kita akan ini, akan itu, akan anu, sampai bosan mendengarnya. Dan semua rakyat tahu semua cuma janji surga, tak satu pun yang kesampaian.
Janji nanti kalau saya sudah jadi pejabat, kita akan habisi koruptor, eh ternyata malah dia yang jadi godfather koruptornya. Janji nanti kalau jadi pejabat, akan bebas banjir, eh justru semakin parah banjirnya.
Kayaknya kita tidak pernah dijanjikan ini dan itu oleh pilot pesawat kita. Belum pernah ada pilot bilang kepada penumpang : kita akan segera terbang tinggi ke langit keluar dari atmosfir dan insya Allah akan melewati bulan dan bintang! Belum pernah pilot bikin janji-janji macam itu.
Satu lagi yang menarik, saya belum pernah dengar ada pesawat kehilangan kabel, atau layar LCD, kursi atau perlengkapan lainnya, gara-gara ditilep oleh pilotnya. Saya juga belum pernah dengar pramugari tidak rata membagikan makanan, hanya gara-gara jatah makanan buat penumpang dilahap habis oleh kru pesawat.
Yang saya tahu, sebelum para pramugari pesawat makan, para penumpang dulu yang dilayani masalah makannya. Kita belum pernah dengar ada penumpang kelaparan gara-gara para pramugari makan duluan, kalau ada sisanya barulah dibagikan kepada penumpang yang masih saudara dengan para pramugari itu.
Saya juga belum pernah dengar ada lauk pauk dalam paket makanan buat penumpang yang ditilep oleh pramugari. Atau misalnya setelah makanan dibagikan, lalu kita disuruh menyerahkan salah satu makanan sebagai `upeti` atau uang pelicin buat para pramugasi. Asli belum pernah dengar.
Tapi kalau uang buat rakyat dimakan dan dibagi-bagi sesama pejabat dan PNS di suatu kementerian, rasanya sih sering dengar, terlalu sering bahkan. Lewat berbagai macam aksi tipu-tipu, seperti mark-up, uang dinas, uang perjalanan, bahkan gaji buat PNS yang sudah meninggal 10 tahun lalu masih saja bisa cair dan turun, entah bagaimana triknya, pokoknya duitnya cair. Bayangkan, para pejabat itu `menelan` apa saja yang bisa ditelan, sampai jatah makanan buat rakyat miskin pun disikatnya juga.
Dan sumbangan buat rakyat sudah biasa mengalami `sunatan masal`, dimana jatah dari atas dikucuri 10 juta, karena lewat berbagai jalur birokrasi, ternyata sampai tangan rakyat tinggal 10 ribu, itu berbulan-bulan tertahan. Tetapi kwitansinya tetap 10 juta. Dan sintingnya, penilepan seperti itu terjadi juga dalam kasus bantuan sosial buat korban bencana alam, baik di Aceh mau pun daerah bencana lain. Sungguh benar-benar bencana nasional.
Rakyat dan Penumpang Pesawat
Saya sering membandingkan kita sebagai bagian dari rakyat negeri ini, seharusnya diperlakukan sebanding dengan penumpang pesawat. Sebagai penumpang, kita beli tiket pakai uang kita. Dan imbalannya, selain diantarkan sampai ke tujuan dengan selamat, sepanjang perjalanan kita dilayani mulai dari urusan yang masuk ke perut sampai yang keluar dari perut.
Para awak pesawat akan melayani kita dengan senyum ramah, dan kita tinggal bilang, minta jus, teh, kopi, cola dan apa saja, mereka dengan senang hati memberikan. Kecuali kalau pesanannya rada nyentrik, seperti pesan gado-gado kacang mede plus es teler, kemungkinan besar nggak ada.
Tapi coba lihat gaya para pejabat itu, meski mereka kita bayar, boro-boro melayani kita dengan senyum, yang ada urusan surat-surat kita pun (masih saja) dipersulit. Padahal mereka itu kan pelayan rakyat, bukan raja yang minta dilayani. Pejabat-pejabat itu harusnya jadi seperti pramugari pesawat, kalau kita butuh bikin dan perpanjang KTP, bikin KK, perpanjang STNK, pajak dan sebagainya, seharusnya kita duduk manis di rumah sambil nonton TV, dan mereka yang mondar mandir ke rumah kita untuk melayani.
Bukan sebaliknya, kita yang disuruh bolak-balik keluar masuk kantor mereka, yang juga belum tentu ada di tempat, karena ada rapat atau malah lagi liburan ke luar negeri. Buat saya, mereka itu bukan pelayan rakyat, tetapi sebaliknya malah jadi raja yang minta dilayani oleh rakyat.
Apalagi kalau pejabat pusat mau kujungan ke daerah, wah ibarat mau menyambut raja. Semua persiapan mulai dari hotel, tiket, jalan-jalan, oleh-oleh dan sebagainya, harus disiapkan oleh para bawahannya.
Para pejabat itu hanya baru akan hormat kalau bertemu dengan rakyatnya yang kaya dan pengusaha, karena bisa dijadikan rekan atau pendukung saat kampanye atau pilkada. Kalau rakyat miskin yang kurang makan dan serba kekurangan, biasanya hanya dibutuhkan saat janji kampanye. Setelah menang dan naik tahta, semua sudah lewat begitu saja.
Bandingkan dengan para pramugari pesawat, mereka melayani para penumpang, tidak pernah pilih-pilih, apakah penumpangnya itu orang miskin atau orang kaya, bahkan meski pun penumpangnya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (TKW), tetap saja dilayani dengan rata dan adil. Sebab buat pramugari, semua penumpang tanpa terkecuali, adalah raja yang harus dilayani.
Kalau perlu, pramugari yang cantik-cantik itu kita suruh manjat kursi angkat koper ke atas kepala. Memang sudah tugasnya, mereka malah senang bisa membantu para penumpang. Dan sebagai penumpang kita berhak mendapatkan pelayanan itu, karena kita kan sudah beli tiket.
Dalam bernegara, uang beli tiket pesawat kira-kira sama pajak yang kita bayarkan. Sengaja atau tidak sengaja, rakyat adalah pembayar pajak. Sebab waktu kita makan di restoran pasti kena pajak, waktu kita bayar listrik juga kena pajak, waktu kita nonton TV lagi-lagi kena pajak, bahkan sekedar punya tanah dan rumah yang 100% kita beli dengan uang kita sendiri pun, kita terkena pajak juga.
Wajar dong kalau kita berhak mendapatkan pelayanan dari para pejabat dan pegawai negeri, karena gaji mereka itu kan kita yang bayar. Harusnya lurah, camat, bupati, gubernur, menteri dan presiden itu kita suruh angkat koper, kalau haus kita suruh mereka tuang minuman buat kita, kalau kita lapar kita panggil dan kita suruh menyiapkan makanan. Itu tugas mereka dan untuk itulah mereka dibayar.
Bukannya malah jadi raja badut atau backing mafia, yang kerjanya memeras rakyat, menipu, menilep uang, mengkorup, menjarah kekayaan negeri. Pejabat model begini sebenarnya hanya pelanjut generasi dari kompeni Belanda yang memang penjajah. Kulitnya saja yang beda, tapi kelakuannya sama saja, bahkan penjajah yang masih bangsa sendiri itu kadang lebih kejam dan lebih zalim kepada rakyat.
Kadang saya bilang, sudah bagus ada anak yang bilang bahwa kalau dirinya sudah besar mau jadi pilot. Ya, silahkan jadi pilot, asalkan jangan jadi pejabat, kerjanya jadi penguasa makan uang rakyat. Kalau tidak haram setidaknya syubhat, bagaimana mau selamat di akhirat?
Oleh: Ahmad Sarwat, Lc
Sumber: Ustsarwat.Com
http://www.ustsarwat.com/web/berita-99-pejabat-vs-pilot-pesawat.html
0 komentar:
Posting Komentar